AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG
Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu
Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur-an, As-Sunnah, dan Ijma' sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur-an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir.[1]
Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak memperhatikan nilai tasyri' As-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. (Lihat dalil-dalil ijma’ tentang wajibnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)
Beberapa orang yang menolak As-Sunnah pada masa Shahabat yang penulis sebutkan di atas tidaklah mewakili satu firqah atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiringnya perkembangan zaman mereka akan menjadi firqah atau jama’ah. Pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu penolakan terhadap As-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Shahabat ‘Imran bin Husain dibantah oleh penolak As-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Shahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang As-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.[2]
1. Pandangan Khawarij
Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Shahabat yang tergolong Ash-habul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusannya dan membenarkannya ataupun yang mengakui keputusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Sha-habat sebagi rawi tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawarij menerima Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[3]
2). Pandangan Mu'tazilah
Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu'tazilah terhadap As-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sun-nah secara keseluruhan.
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Ulama perbandingan agama mengemukakan tentang pandangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
a). Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
b). Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
c). Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu'tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Ni-zhamiyah) ini.
Al-Khudhari mengambil kesimpulan dari pendapat asy-Syafi'i dan begitupula Mushthafa as-Sibba'i, bahwa sekte yang menolak seluruh hadits adalah Mu'tazilah.
Menurut Dr. Musthafa al-A'zhumi bahwa Mu'tazilah mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaidah berfikir mereka. Jadi tidaklah menolak seluruh hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [4]
.
3). Pandangan Syi'ah Tentang As-Sunnah
Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membedakan antara Rafidhah dan Syi’ah. Rafidhah riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda'wahkan bid'ahnya. Sedang Syi'ah yang sekarang berkembang (Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhah. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Mur-ji’ah, Mu’tazilah, dan 'Asy'ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur-an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut'ah, Shahabat dan Ahlul Bait.[5]
Sebelum masuk kepada masalah As-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi'ah tentang Al-Qur-an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap Al-Qur-an yang dilakukan oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Di antara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah:
1. Al-Kulaini dalam kitab Ushulul Kafi.
2. Al-Qummi dalam tafsirnya.
3. Abu al-Kasim al-Kufi dalam kitabnya al-Istighatsah.
4. Al-Mufid dalam kitabnya Awaa-il Maqalat
5. Al-Ardabily dalam kitab Haqiqatusy Syi'ah.
6. At-Thabrasy dalam kitabnya al-Ihtijaj.
7. Al-Kasyi dalam tafsirnya ash-Shafiy.
8. Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu'maniyah.
9. Al-Khurasani dalam kitabnya Bayan as-Sa'adah fi Maqamah al-Ibadah.
10. An-Nuri Ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khi-thaab fi Itsbat Tahriifil Kitab Rabbil Arbaab.
Menurut ulama Syi'ah, Al-Qur-an sekarang ini ada beberapa macam nuskhah (Al-Qur-an versi Syi'ah), yaitu:
1. Terdapat 114 surat, tapi ada 269 ayat yang menyim-pang.
2. Terdapat 112 surat, (114 surat dikurangi Mu'awidza-tain).
3. Terdapat 115 surat, (114 surat ditambah surat Al-Wilayah).
4. Terdapat 117 surat, (114 surat ditambah surat al-Qunut, al-Hiqd, dan al-Khulu').
5. Wahyu Zhahir dan Bathin
6. Mush-haf Fathimah, berisikan lebih dari tujuh belas ribu ayat.
7. Mush-haf Syi'ah, yang tebalnya tiga kali Al-Qur-an kaum muslimin.
8. Mush-haf yang dibawa oleh Imam Mahdi al-Munta-zhar, dalam persembunyiaannya hampir 12 abad.
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap Al-Qur-an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi'ah sudah keluar dari Islam.
Tentang masalah As-Sunnah, kaum Syi'ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pe-ngertian mereka), karena itu 96 % hadits-hadits Rasulullah Shallallallahu 'alaihi wa sallam mereka tolak, dan hanya 4 % saja mereka terima.
Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi-'ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Kitab hadits mereka disusun oleh al-Kulaini, nama kitab tersebut ialah:
1. Al-Kafi,
2. Al-Ushul minal Kafi, dan
3. Al-Furu' minal Kafi.
Penyimpangan lain yang bisa kita lihat dari pengertian hadits menurut pendapat mereka, ialah :
1. Mereka tidak mementingkan sanad sama sekali.
2. Semua yang diriwayatkan dari imam-imam ma'shum (Imam dua belas), kedudukan haditsnya sama dengan hadits yang diterima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sama dengan Al-Qur-an dari segi kekuatannya.
3. Selama hadits tadi diriwayatkan oleh imam mereka, wajib diterima.
4. Kaum muslimin jelas sangat jauh berbeda dengan Syi'ah dalam hal:
a. Ilmu Mushthalah Hadits,
b. Ilmu Dirayah Hadits,
c. Ilmu Rijalil Hadits
Berkata Imam Malik tentang Rafidhah, “Jangan bicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan sesuatu pun dari mereka. Mereka adalah pendusta.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang Syi’ah Imamiah, “Mereka adalah manusia yang paling pendusta dalam masalah naqliyah (wahyu) dan sebodoh-bodoh manusia dalam masalah akal, bahkan mereka ini golongan yang paling bodoh.”
C. As-Sunnah dan Para Penentangnya di Masa Sekarang
Secara historis sesudah abad kedua Hijriyah tidak pernah timbul lagi dalam sejarah individu atau jama'ah yang mengaku dirinya Islam tetapi mereka membuang As-Sunnah. Umumnya mereka yang menolak As-Sunnah adalah para pengikut sekte-sekte yang timbul pada zaman fitnah mulai tahun 37 H sampai abad kedua, ke-munculannya tiada lain karena kebodohan semata. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah berupaya dengan berbagai usaha menyadarkan dengan berbagai dialog dan membantah hujjah mereka.
Sesudah berlalu dua belas abad, zaman berubah dan Daulah Islam telah lenyap, maka mulai muncul masa imperialisme, dan para penjajah mulai menyebarkan fitnah mereka yang jelek dan kotor untuk menghancurkan prinsip-prinsip Islam. Dalam situasi dan kodisi seperti ini muncullah penentang-penentang As-Sunnah di Iraq, Mesir, dan beberapa negara jajahan lainnya.
Adapun di Mesir timbul fitnah pada masa Muham-mad ‘Abduh sebagaimana disebutkan oleh Abu Rayyah dalam kitabnya, yang kemudian setelah itu diikuti oleh Dr. Taufik Sidqi dengan artikelnya yang berjudul Al-Islam huwal Qur-anu Wahdah dalam al-Manar no. 7 dan 12, tahun VII di Mesir. Kemudian Ahmad Amin menulis dalam kitabnya Fajrul Islam tahun 1929 H, di dalamnya mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan ia tetap berpendirian demikian hingga datang ajalnya.
Begitupula halnya Isma’il Ad-ham, ia menulis risalah tahun 1353 H, tentang sejarah As-Sunnah, katanya, “Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim tidak kuat dasarnya (tidak kuat sanadnya), bah-kan diragukan dan umumnya adalah maudhu' (palsu)!”
Jadi, ada orang yang menolak As-Sunnah secara keseluruhan, dan ada pula yang menolaknya sebagian saja, yakni mereka yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Dalil-dalil yang mereka pakai hampir sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang menolak As-Sunnah pada abad ke-2 Hijriyah.
[Cerkiis.blogspot.com, artikel: almanhaj. Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
Footnote
[1]. Setelah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang yang mem-buat ia menjadi kafir.
[2]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/21-22).
[3]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/22-23).
[4]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/23-25).
[5]. Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim (9 jilid), cet. I, th. 1406 H.
Dr. Ihsan Ilahi Zhahir telah menulis beberapa kitab tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh Idaarah Turjumaanil Qur-an, Lahore-Pakistan, di antaranya:
- Asy-Syi’ah wal Qur-an,
- Asy-Syi’ah was Sunnah,
- Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, dan selainnya
๐ Cerkiis.blogspot.com