Senin, 03 Agustus 2020

Perintah (Al-Amru)


Pada kesempatan ini sedikit akan dibahas tentang al-amru (الْأَمْرُ) atau perintah. Definisi perintah dalam ushul al-fiqh adalah :

استدعاء الفعل بالقول على وجه الاستعلاء

“Memerintahkan untuk melakukan sesuatu dengan satu perkataan dalam bentuk al-isti’laa’ (dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah)” [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqhi, hal. 224].

Atau bisa juga dikatakan :

قول يتضمن طلب الفعل على وجه الاستعلاء

”Perkataan yang mengandung tuntutan melakukan sesuatu dalam bentuk al-isti’laa’ (dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah)” [Syarh Al-Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul, hal. 107].

Ada juga definisi yang lain, tapi mirip-miriplah dengan apa yang saya tuliskan di atas.

Bagaimana bentuk-bentuk perintah itu ? Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan sebagai berikut :

1. Fi’il amr, seperti dalam ayat :

أَقِمِ الصَّلاةَ

”Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Israa’ : 78)

2. Fi’il mudlari’ majzum dengan lam amr, seperti dalam ayat :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ

”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut…” (QS. An-Nuur : 63)

3. Isim fi’il amr, seperti dalam ayat :

عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ

”….jagalah dirimu…” (QS. Al-Maaidah : 105)

4. Mashdar pengganti dari fi’il amr, seperti dalam ayat :

فَضَرْبَ الرِّقَابِ

”… maka pancunglah batang leher mereka…” (QS. Muhammad : 4)

[Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh, hal. 225].

Nah, ... sekarang menginjak pada penunjukan shighah amr. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini yang terangkum sebagai berikut :

1. shighah amr menunjukkan pengertian wajib secara mutlak;

2. shighah amr menunjukkan pengertian mubah;

3. shighah amr menunjukkan pengertian anjuran;

4. shighah amr menunjukkan pengertian wajib, kecuali bila terdapat dalil yang memalingkannya ke pengertian yang lain.

Yang rajih adalah menurut jumhur ulama ushul-fiqh adalah pendapat yang keempat. Dari pendapat inilah terbangun kaidah :

الأصل في الأمر تفيد الوجوب

”Asal dari satu perintah menunjukkan pengertian wajib”.

Banyak dalil yang digunakan para ulama ushul-fiqh untuk membangun kaidah ini. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم

”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].

Segi pendalilannya adalah bahwa bahwa Allah ta’ala telah memperingatkan dan mengancam orang-orang yang menyalahi perintah syari’at (yaitu perintah Rasululullah ﷺ) dengan adzab yang pedih. Hal ini menunjukkan perintah Rasul ﷺ itu secara umum menunjukkan konsekuensi hukum wajib.

Juga firman Allah ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” [QS. Al-Ahzaab : 36].

Dalam ayat ini Allah ta’ala melarang untuk menjadikan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sebagai pilihan (boleh diambil boleh tidak). Konsekuensinya, kemutlakan perintah Allah dan perintah Rasul di sini tidaklah mungkin terjadi kecuali jika mengandung konsekuensi wajib.

Juga firman Allah ta’ala:

أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي

”Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” [QS. Thaahaa : 93].

Mafhum muwafaqah ayat ini menunjukkan bahwa menyelisihi perintah adalah sebuah kedurhakaan/kemaksiatan). Tidaklah kedurhakaan/kemaksiatan itu muncul dari satu perintah kecuali perintah tersebut merupakan kewajiban.

Kaidah inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhuul, Asy-Syinqithi dalam Mudzakkirah fii Ushulil-Fiqhi, dan Ibnu ’Utsaimin rahimahumullah dalam Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul.
Adakalanya perintah itu keluar dari hukum wajib ke beberapa makna hukum yang lain. Di antaranya :

1. Mandub (dianjurkan), sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ

”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli” [QS. Al-Baqarah : 282].

Mendatangkan saksi dalam jual beli di sini hanyalah anjuran saja karena ada dalil yang memalingkannya, yaitu Rasulullah ﷺ pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui tanpa adanya saksi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daawud no. 3607, An-Nasaa’iy no. 4647, Ahmad 5/215, dan yang lainnya.

Begitu pula dengan ayat:

وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انْظُرُوا إِلَى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

”Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman” [QS. Al-An’aam : 99].

Kalimat undhuruu ilaa tsamarihi tentu tidak menunjukkan makna wajib. Ia hanya anjuran saja karena keseluruhan ayat hanya menunjukkan pengambilan ’ibrah saja. Selain itu, qarinah pemalingannya banyak, baik secara naql dan ’aql. Secara naql, banyak sekali dalil yang menunjukan bahwa keberadaan buah di pohonnya tidaklah harus selalu dilihat setiap waktu. Kita tengok kisah Maryam ketika bersandar di pangkal pohon kurma :

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا (25)

”Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan". Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” [QS. Maryam : 22-25].

Dalam ayat tersebut ketika Maryam berada di dekat pohon kurma, bahkan ia bersandar padanya, tidak ada perintah agar ia melihat buahnya di tangkal pohonnya. Selain itu, dalam kisah tidak ada khabar yang menyebutkan bahwa Maryam melihat buah kurma ketika ada di tangkal pohonnya. Bahkan, perintah yang datang kepadanya hanyalah untuk menggoyangkan pohon kurma agar kurma yang masak dapat jatuh. Ini dalil naqli. Adapun dalil ’aqli, maka sungguh tidak masuk akal jika kita harus selalu memperhatikan dan melihat buah-buahan yang ada di sekitar kita.

2. Mubah (boleh)

Pada umumnya, konsekuensi hukum ini ada jika perintah datang setelah adanya larangan. Ini merupakan pendapat Asy-Syaafi’iy sebagaimana dinukil oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah dalam Al-Mudzakkirah. Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam kitabnya sebenarnya menyebutkan tiga pendapat dalam masalah ini (konsekuensi hukum perintah yang datang setelah adanya larangan), namun kemudian beliau merajihkan pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahumallah. Dan itu pula yang diterangkan Ibnu ’Utsaimin dalam Al-Ushul min ’Ilmil-Ushuul. Asy-Syinqithiy rahimahullah kemudian merinci permasalahan ini bahwa permasalahan tersebut kembali pada hukum perbuatan sebelum adanya larangan. Jika hukum perbuatan tersebut semula adalah boleh, maka setelah adanya larangan ia kembali ke hukum boleh (jaaiz). Jika semula hukum perbuatan itu wajib, maka ia kembali pada hukum wajib.

Contohnya adalah firman Allah ta’ala:

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا

”Jika engkau telah bertahallul maka berburulah" [QS. Al-Maidah : 2].

Letak larangannya terdapat dalam ayat sebelumnya yaitu :

أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ

”Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji” [QS. Al-Maaidah : 1].

Kita kaitkan dengan bahasan, apa hukum berburu sebelum adanya larangan (ketika ihram) ? Jawab : Boleh (mubah). Maka setelah adanya larangan dalam ayat 1, fi’il amr di atas (yaitu : fasthaaduu) bermakna : boleh berburu. Bukan wajib berburu.
Selain itu, hukum mubah di sini juga bisa datang jika perintah datang sebagai suatu jawaban dari sesuatu yang disangka dilarang. Contohnya adalah :

افْعَلْ وَلَا حَرَجَ

“Lakukanlah dan (hal itu) tidak apa-apa” [Muttafaqun ‘alaihi].[1]

Perkataan tersebut sebagai satu jawaban atas orang yang bertanya kepada beliau ﷺ pada haji wadaa' tentang mendahulukan amalan-amalan haji yang satu terhadap yang lainnya.

3. Ancaman.

Diantara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

”Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Fushshilat : 40].

Juga dalam firman-Nya :

فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا

”Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka” [QS. Al-Kahfi : 29].

Wallaahu a’lam.

[Cerkiis.blogspot.com, abul-jauzaa’ – 10052007 – 02:29]

- - - - -

[1] Selengkapnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى لِلنَّاسِ يَسْأَلُونَهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ؟ فَقَالَ: اذْبَحْ وَلَا حَرَجَ، فَجَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ؟ قَالَ: ارْمِ وَلَا حَرَجَ، فَمَا سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: افْعَلْ وَلَا حَرَجَ "

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash : Bahwasannya Rasulullah ﷺ berdiri di Mina ketika haji wadaa’ memberi kesempatan kepada manusia untuk bertanya kepada beliau ﷺ. Lalu ada seseorang yang mendatangi beliau ﷺ dan berkata: “Aku tidak menyadari, ternyata saat aku mencukur rambut sebelum aku menyembelih”. Maka beliau ﷺ bersabda : “Sembelihlah, tidak apa-apa”. Kemudian datang orang lain dan berkata : “Aku tidak menyadari, ternyata ketika berkurban sebelum aku melempar (jumrah)“. Beliau ﷺ bersabda : “Lemparlah dan tidak apa-apa”. Dan tidaklah Nabi ﷺ ditanya tentang sesuatu perkara sebelum dan sesudahnya kecuali beliau menjawab : “Lakukanlah dan tidak apa-apa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 83 & 124 & 1736 & 1738 & 6665, Muslim no. 1306].