Selasa, 05 November 2019

Wisata Maksiat; Membuang Waktu; Biaya Dan Tenaga; Namun Berbuah Dosa


WISATA MAKSIAT, MEMBUANG WAKTU, BIAYA DAN TENAGA, NAMUN BERBUAH DOSA

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Hukum asal bepergian ke segala penjuru bumi, termasuk untuk tujuan wisata atau rekreasi adalah mubah (diperbolehkan) dalam Islam, selama tidak melanggar hal-hal yang dilarang dalam syariat Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Dialah (Allâh) yang menjadikan bumi itu mudah bagimu (untuk ditelusuri), maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan [Al-Mulk/67:15]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Arti ayat ini adalah bepergianlah kamu ke segala penjuru bumi sesuai dengan keinginanmu! Serta telusurilah semua tempat dan pelosoknya untuk berbagai macam usaha dan perniagaanmu! Ketahuilah usaha yang kamu lakukan tidak bermanfaat sedikitpun bagimu, kecuali jika Allâh Azza wa Jalla memudahkan hal itu bagimu.”[1]

Perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini “… maka berjalanlah (bepergianlah) ke segala penjurunya” adalah perintah mubâh (hukumnya boleh dan tidak dilarang). Bentuk perintah ini bertujuan untuk memperlihatkan keagungan anugerah-Nya kepada para hamba-Nya.[2]

Akan tetapi, perjalan wisata atau rekreasi yang hukum asalnya mubâh (boleh) ini bisa menjadi haram dan dilarang dalam agama jika terdapat hal-hal yang melanggar syariat Islam.

Hal-hal yang melanggar syariat Islam dalam hal ini, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Beberapa contoh pelanggaran yang bersifat umum:

1. Pemborosan Harta Secara Berlebihan

Ini terlihat jelas pada kebanyakan perjalan wisata yang dilakukan oleh sebagian orang di jaman sekarang ini, untuk biaya tiket kendaraan, penginapan, makanan dan kebutuhan-kebutuhan lain selama perjalanan

Ini sangat dilarang dan diharamkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا﴿٢٦﴾إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya [Al-Isrâ’/17:26-27]

Makna pemborosan harta dalam ayat ini ada dua, yaitu:
-  Membelanjakan harta di jalan yang tidak benar atau untuk perbuatan maksiat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala
-  Pemborosan berlebihan yang menghabiskan harta.[3]

Dan dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

Sesungguhnya Allâh membenci bagi kalian tiga perkara: banyak bicara, idhâ’atul mâl (menghambur-hamburkan harta) dan banyak bertanya[4]

Arti “idhâ’atul mâl” (menghambur-hamburkan harta) adalah menggunakannya bukan dalam rangka ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan.[5]

2. Kesibukan Yang Melalaikan Manusia Dari Mengingat Allâh Azza wa Jalla

Mayoritas orang yang melakukan perjalan wisata bertujuan untuk bersantai dan bersenang-senang, sehingga mereka tidak berminat untuk melakukan amal-amal ibadah. Kalaupun mereka melakukan itu, maka hanya sekedarnya dan bahkan tidak jarang dilakukan dengan malas-malasan, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Hal ini tentu sangat tercela dan menjadikan manusia lalai dari mengingat Allâh Azza wa Jalla yang merupakan sebab keburukan terbesar dalam kehidupan manusia.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anakmu menjadikanmu lalai dari mengingat Allâh. Barangsiapa yang melakukan itu maka mereka itulah orang-orang yang rugi [Al-Munâfiqûn/63:9]

3. Banyak melakukan perbuatan sia-sia dan tidak mengisi waktu luang dengan yang bermanfaat

Ini juga sering terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama perjalan wisata dan tentu saja hal ini tercela dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Ada dua nikmat (karunia Allâh Azza wa Jalla ) yang kurang dimanfaatkan oleh kebanyakan manusia, (yaitu) kesehatan dan waktu luang.[6]

Dalam hadits lainnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ

Termasuk (dalam) kebaikan Islam seseorang adalah (dengan) dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya[7]

Adapun pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Islam yang bersifat khusus dalam hal ini, maka akan kami jelaskan dalam contoh-contoh perjalanan wisata atau rekreasi maksiat berikut ini.

CONTOH-CONTOH WISATA ATAU REKREASI MAKSIAT

1. Wisata ke negeri orang-orang kafir dengan tujuan untuk bersenang-senang


Ini dilarang dan diharamkan dalam Islam karena termasuk bentuk loyalitas (kecintaan) kepada orang-orang kafir.[8]

Bepergian ke negeri orang-orang kafir yang umumnya banyak terdapat perbuatan kufur dan maksiat, menjadikan seorang Muslim akan sulit menegakkan dan menampakkan syiar-syiar Islam yang merupakan kebanggaan seorang Muslim, bahkan bisa saja menjadikannya sulit untuk menegakkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar.

Dengan Alasan inilah, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan dalam al-Qur’an kepada para hamba-Nya yang beriman untuk meninggalkan negeri-negeri yang mereka tidak mampu menegakkan agama mereka di tempat tersebut dan mencari negeri lain yang jauh dari keburukan itu, karena bumi ciptaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini luas.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ

Wahai para hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka hendaknya kamu beribadah kepada-Ku semata-mata [Al-‘Ankabût/29:56]

Imam Ibnu Katsir berkata, “(Ayat) ini merupakan perintah dari Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya yang beriman agar berhijrah (berpindah) dari negeri yang mereka tidak mampu menegakkan agama mereka di tempat tersebut ke bumi Allâh yang luas (ke negeri lain) yang memungkinkan mereka menegakkan agama, dengan mengesakan dan beribadah kepada-Nya semata, sebagaimana yang diperintahkan-Nya kepada mereka.”[9]

Lebih lanjut, Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullâh menjelaskan hukum masalah ini berserta pengecualiannya, beliau berkata, “Bepergian ke negeri orang-orang kafir haram (hukumnya) kecuali dalam keadaan darurat (kebutuhan yang mendesak), seperti berobat, berdagang, dan mempelajari bidang-bidang (ilmu) tertentu yang bermanfaat (bagi kaum Muslimin), yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan bepergian ke (negeri) mereka. Maka ini diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan (secukupnya), dan jika telah selesai kebutuhannya, maka ia wajib (untuk segera) kembali ke negeri kaum Muslimin.

Bolehnya bepergian (ke negeri mereka) ini dengan syarat seorang Muslim (wajib) menampakkan dan merasa bangga dengan keislamannya, serta menjauhi tempat-tempat yang buruk, dalam rangka mewaspadai tipu daya mereka. Demikian pula bepergian (ke negeri mereka) diperbolehkan atau (bahkan) diwajibkan jika tujuannya untuk berdakwah ke jalan Allâh dan menyiarkan agama Islam.”[10]

2. Wisata ke kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau wali

Sebagian dari kaum Muslimin bahkan menyebut perbuatan ini termasuk ‘wisata religi’, padahal perbuatan ini diharamkan dalam Islam bahkan merupakan sebab besar terjadinya perbuatan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla ).

Melakukan perjalanan untuk tujuan ini dilarang dalam Islam, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Tidak boleh melakukan perjalanan jauh (untuk tujuan ibadah) kecuali ke tiga masjid: al-Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.[11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Larangan dalam hadits ini meliputi semua perjalanan menuju ke masjid-masjid (selain tiga masjid tersebut di atas), kuburan-kuburan yang diagungkan (dikeramatkan) dan semua tempat yang dituju pada zatnya dengan menempuh perjalanan jauh untuk tujuan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla [12]

Di tempat lain, beliau t menjelaskan bahwa perjalanan seperti ini adalah perjalanan maksiat dan dilarang keras oleh mayoritas Ulama Ahlus sunnah.[13]

Adapun kemungkaran besar lain yang sering terjadi pada perjalanan wisata seperti ini adalah sering terjadi perbuatan syirik yang dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan tersebut, seperti sujud dan berdo’a di sisi kuburan orang yang dianggap sebagai wali untuk meminta kepada para penghuni kuburan itu berbagai macam kebutuhan, meminta keselamatan dan penjagaan dari bencana.

Semua ini jelas merupakan kesyirikan yang nyata, karena semua do’a dan permohonan tersebut hanya pantas ditujukan kepada Allâh Azza wa Jalla semata , sebab hanya Dia-lah yang maha kuasa memenuhi segala kebutuhan tersebut dan tidak ada seorang makhluk pun yang sanggup melakukannya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allâh ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengambil peringatan” [An-Naml/27:62

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla memperingatkan bahwa Dialah (satu-satunya) yang diseru ketika (timbul) berbagai macam kesusahan, dan Dialah yang diharapkan (pertolongan-Nya) ketika (terjadi) berbagai macam malapetaka, sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, maka hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Allâh [Al-Isrâ’/17:67].

Dan firman-Nya:

ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Kemudian bila kamu ditimpa bencana, maka hanya kepada-Nyalah kamu memohon pertolongan [An-Nahl/16:53][14]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ

Jika Allâh menimpakan suatu kesulitan kepadamu, maka tidak ada yang (mampu) menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Allâh menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara para hamba-Nya [Yûnus/10:107]

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata, “(Arti ayat ini), Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika Allâh Azza wa Jalla menimpakan kepadamu kesusahan atau bencana, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali (Allâh Azza wa Jalla ) Rabbmu yang telah menimpakannya kepadamu, dan bukanlah sembahan-sembahan dan tandingan-tandingan lain (selain Allâh Azza wa Jalla ) yang disembah oleh orang-orang musyrik itu (yang mampu menghilangkannya).”[15]

Semua ayat di atas menunjukkan bahwa berdo’a untuk memohon pertolongan dan pemenuhan hajat adalah termasuk ibadah yang paling agung dan mulia, yang hanya layak ditujukan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Sehingga menujukannya kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk jenis-jenis kesyirikan yaitu meminta (pemenuhan) hajat dari orang-orang mati (yang dianggap sebagai wali), beristighâtsah (berdo’a untuk memohon pertolongan/menghilangkan kesusahan) dan menghadapkan diri kepada mereka. Inilah pangkal kesyirikan (yang terjadi) di alam semesta. Orang yang telah mati telah terputus amal perbuatannya dan dia tidak memiliki (kemampuan untuk memberi) manfaat maupun (mencegah) keburukan bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang (lain) yang beristighâtsahkepadanya atau meminta (pemenuhan) hajat kepadanya?”[16]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Termasuk (perbuatan) syirik (menyekutukan Allâh) adalah berdo’a untuk memohon pertolongan atau untuk menghilangkan kesusahan kepada selain-Nya atau menyeru (memohon) kepada selain-Nya.”[17]

Termasuk dalam hal ini, melakukan perjalanan untuk menziarahi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Semua hadits yang menjelaskan keutamaan atau anjuran perbuatan ini adalah hadits yang sangat lemah dan palsu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Sesungguhnya hadits-hadits (tentang keutamaan) menziarahi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya (sangat) lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dalam agama Islam. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak satupun diriwayatkan oleh (para imam) pemilik kitab-kitab (hadits) Shahih dan Sunan, yang meriwayatkannya adalah (para imam) yang meriwayatkan hadits-hadits yang (sangat) lemah (dalam kitab-kitab mereka), seperti ad-Daraquthni, al-Bazzar dan lain-lain.”[18]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya banyak hadits lain (selain hadits di atas) tentang (keutamaan atau anjuran) menziarahi kuburan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , semuanya dibawakan oleh as-Subki dalam kitabnya asy-Syifâ’, tapi seluruhnya adalah hadits yang sangat parah kelemahannya, bahkan sebagiannya lebih parah dari yang lainnya … Imam Ibnu Abdil Hadi telah menjelaskan kelemahan semua hadits-hadits tersebut dalam kitab beliau ash-Shârimul Manki dengan penjelasan detail dan teliti yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain.”[19]

3. Wisata ke peninggalan kaum-kaum yang dibinasakan Allâh Azza wa Jalla

Hal ini juga dilarang, berdasarkan hadits riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar c bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ لَا يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ

Janganlah kamu masuk (mendatangi tempat) orang-orang yang diadzab (dibinasakan) oleh Allâh kecuali dalam keadaan kamu menangis (karena takut kepada-Nya), kalau kamu tidak bisa menangis maka janganlah kamu mendatangi (tempat) orang-orang tersebut, supaya kamu tidak ditimpa adzab yang telah menimpa mereka.[20]

Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan melewati tempat-tempat tersebut dengan rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla , menangis, mengambil pelajaran dari keburukan yang menimpa mereka dan berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari keburukan tersebut.[21]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengunjungi tempat-tempat kaum yang diadzab (dibinasakan) oleh Allâh Azza wa Jalla kecuali disertai tangisan takut kepada Allâh akan menimpakan adzab kepada orang yang berkunjung tersebut sebagaimana yang telah menimpa mereka.”[22]

Ini tentu saja hampir tidak pernah dilakukan oleh mayoritas orang yang mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk sekedar tujuan rekreasi dan bersenang-senang.

Bahkan berdiam dan menetap lama di tempat-tempat tersebut tidak diperbolehkan, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika pernah melewati pemukiman kaum Tsamud, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera memacu dan mempercepat kendaran (unta) Beliau sampai meninggalkan tempat tersebut.[23]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun melewati tempat-tempat tersebut, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewatinya, akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas meninggalkannya (dengan memacu kendaraan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) sambil menutup kepala Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam … Maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mendatangi tempat-tempat tersebut untuk sekedar melihat-lihat dan rekreasi, akan tetapi (yang diperbolehkan adalah) untuk mengambil pelajaran dan disertai tangisan (karena takut kepada Allâh Azza wa Jalla ). Meskipun demikian, yang lebih selamat (bagi agama seseorang) adalah tidak mendatangi tempat-tempat tersebut”[24]

4. Wisata ke situs peninggalan orang kafir

Khususnya peninggalan mereka yang berupa tempat ibadah, tempat pemujaan dan lain-lain yang berhubungan dengan keyakinan kufur atau syirik atau simbol-simbol agama mereka. Misalnya: candi, patung, arca, piramida dan lain-lain.

Hal ini diharamkan dan dilarang keras dalam Islam karena orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir tidak mungkin hatinya merasa tenang ketika berada di tempat-tempat kesyirikan dan melihat simbol-simbol kekufuran. Mereka selalu berusaha menjauhi hal-hal tersebut dan menyatakan berlepas diri darinya.

Inilah sifat terpuji para hamba Allâh Azza wa Jalla yang beriman sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada (diri nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allâh, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allâh semata” [Al-Mumtahanah/60:4]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga memuji para hamba-Nya yang beriman dengan sikap mereka yang selalu menjauhi perayaan-perayaan orang-orang musyrik atau kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

(Para hamba Allâh yang maha pemurah) adalah orang-orang yang tidak menyaksikan atau menghadiri az-zûr (perayaan-perayaan orang-orang kafir) [Al-Furqân/25:72]

Arti az-zûr dalam ayat ini adalah perayaan-perayaan orang-orang musyrik atau kafir, sebagaimana ucapan Imam Mujâhid bin Jabr al-Makki dan para Ulama salaf lainnya. Ucapan ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.[25]

Demikian pula, mengunjungi tempat-tempat buruk tersebut untuk berwisata dan bersenang-senang, tanpa mengingkari dan membencinya, berarti membenarkan dan meridhai perbuatan buruk tersebut,[26] sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ

Barangsiapa beriman kepada Allâh dan hari akhir maka janganlah dia duduk pada hidangan yang diedarkan di atasnya minuman keras (meskipun dia tidak meminumnya).[27]

NASEHAT DAN PENUTUP

Demikianlah penjelasan tentang wisata dan rekreasi yang dilarang dalam Islam agar kita menjauhinya dan hanya mencukupkan diri dengan wisata dan rekreasi yang tidak melanggar syariat Islam.

Alhamdulillah, tempat-tempat wisata yang baik dan jauh dari kemungkaran cukup banyak kita dapati dan hendaknya orang-orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan memikirkan keselamatan imannya berusaha mencukupkan diri dengan tempat-tempat tersebut, tentu dengan tetap selalu mewaspadai dan menjauhi semua keburukan yang terjadi di manapun dia berada.

Bagaimanapun juga, kerusakan agama dan iman seorang manusia merupakan malapetaka terbesar dalam hidupnya yang berakibat kesengsaraan berkepanjangan di dunia dan di akhirat kelak, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla memohon perlindungan dari malapetaka terbesar ini:

وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِي دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا

(Ya Allâh) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami dan janganlah Engkau menjadikan dunia sebagai perhatian terbesar kami[28]

Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya dan menjauhkan kita semua dari segala keburukan yang merusak iman dan agama kita. Sesungguhnya hanya Dia-lah yang maha kuasa untuk melindungi kita semua dari segala keburukan.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]

Footnote

[1] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 4/510

[2] Lihat kitab Tafsir al-Qurthubi, 18/188 dan Fathul Qadîr, 5/367

[3] Lihat kitab Zâdul Masîr, 5/27-28

[4] HSR. Al-Bukhâri, no.1407 dan Muslim, no.593

[5] Lihat kitab an-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsar, 3/237

[6] HSR. Al-Bukhâri, 5/2357

[7] HR. At-Tirmidzi, 4/558; Ibnu Majah, 2/1315 dan Ibnu Hibban, 1/466 dan dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.

[8] Lihat kitab al-Walâ’u wal Barâ’u fil Islâm, hlm. 8 oleh Syaikh Shaleh al-Fauzan

[9] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 3/556

[10] Kitab al-Walâ’u wal Barâ’u fil Islam, hlm. 9

[11] HSR. Al-Bukhâri, 1/398 dan Muslim, no. 1397

[12] Kitab Iqtidhâ-ush Shirâtil Mustaqîm, hlm. 328

[13] Lihat kitab Majmû’ al-Fatâwâ, 4/520

[14] Kitab Tafsir Ibnu Katsir, 3/492

[15] Kitab Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, 15/219

[16] Kitab Madârijus Sâlikîn, 1/346

[17] Lihat kitab Fathul Majîd, hlm. 200

[18] Kitab Majmû’ al-Fatâwâ, 1/234

[19] Kitab Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfati wal Maudhû’ah, 1/123

[20] HSR. Al-Bukhâri, 1/167 dan Muslim, no. 2980

[21] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahîh Muslim, 18/111

[22] Kitab Iqtidhâ’ush Shirâtil Mustaqîm, hlm. 80

[23] HSR. Muslim, no. 2980

[24] Liqâ-âtu Bâbil Maftûh, 82/8

[25] Lihat kitab Majmû’ al-Fatâwâ, 25/327 dan 331

[26] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 8/69

[27] HR. At-Tirmidzi, 5/113 dan al-Hakim, 4/320, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[28] HR. at-Tirmidzi, no. 3502 dan dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.