Kamis, 24 November 2016

Ketentuan Dasar Tajdîd (Pembaharuan Agama) Yang Benar


KETENTUAN DASAR TAJDID (PEMBAHARUAN AGAMA) YANG BENAR

Tajdîduddin (pembaharuan agama) dalam koridor pengertiannya yang benar adalah amal islami. Sehingga tidak semua yang mengaku melakukan tajdîd lantas disebut mujaddid, karena harus memenuhi berbagai syarat. Demikian juga usaha tajdîd hanya akan diakui dan diperhitungkan bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama. Diantara ketentuan-ketentuan itu :

1. Seorang mujaddid berasal dari kalangan ahlussunnah wal Jamâ’ah yang bebas dari kebid’ahan dan berjalan diatas manhaj Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Oleh karena itu, ahlul bid’ah dan tokoh sekte sesat tidak bisa ditetapkan sebagai mujaddid walaupun dipandang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang ulama besar India bernama syaikh Syamsul Haq al-‘Azhîm âbâdî rahimahullah (wafat tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh sangat mengherankan apa yang dilakukan penulis kitab Jâmi’ul Ushûl yang memasukkan Abu Ja’far al-Imâmi asy-Syî’i dan al-Murtadhâ sebagai Mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Jelas, menganggap dua orang ini sebagai mujaddid adalah kesalahan fatal dan nyata. Karena ulama syi’ah walaupun (dianggap) telah mencapai martabat mujtahid, sangat menguasai berbagai cabang ilmu dan namanya sudah sangat tersohor, namun mereka tidak pantas diberi gelar mujaddid. Bagaimana pantas, bagaimana mereka melakukan pembaharuan (tajdîd) ? Mereka sendiri merusak agama ini; Mereka mematikan sunnah, bagaimana bisa disebut menghidupkan sunnah ? Mereka menebar kebid’ahan, bagaimana mungkin disebut pemberangus bid’ah ? Mereka ini sebenarnya kelompok orang-orang yang menghancurkan agama dan orang-orang yang tidak mengerti. Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan ta’wil, bukan tajdid dalam agama dan tidak juga menghidupkan pengamalan al-Qur`ân dan sunnah yang telah hilang (dari tengah masyarakat)”.[1]

2. Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Maksudnya, metodologinya dalam belajar dan pengambilan dalil dibangun diatas metode al-Qur`ân , sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ijmâ’ , qiyâs yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.

3. Memiliki ilmu syar’i yang benar. Karena diantara aktifitas tajdid adalah mengajarkan agama kepada masyarakat, menebarkan ilmu syar’i dan membela sunnah dan ahlinya serta menghancurkan kebid’ahan.

Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, da’i cerdas yang mampu menjelaskan al-Qur`ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih kepada manusia, menjauhkan masyarakat dari kebid’ahan dan memperingatkan manusia dari perkara yang diada-adakan dalam Islam serta menyadarkan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[2]

4. Jeli dan mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi.

5. Memiliki manhaj (metodologi) dan kaedah yang jelas. Seorang mujaddid dalam aktifitas tajdîdnya harus disertai manhaj dan kaedah yang jelas dalam segala keadaan. Sebab Mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam, itu artinya sebuah penisbatan yang berdasarkan ilmu dan ittiba’, bukan sekedar pengakuan dan klaim. Berarti, kebenaran penisbatan diri ini tersebut harus terbangun diatas kaedah pemahaman terhadap Islam berlandaskan manhaj yang benar. Inti metodologi ini ada pada empat bidang :

a. Ushul lughah Arabiyah
b. Ushul at-tafsir
c. Ushul as-sunnah
d. Ushul al-Fiqh

Sehingga tidak mungkin disebut mujaddid orang yang tahu segala sesuatu tapi tidak mengenal Islam atau yang mengetahui Islam tapi tidak melalui manhaj ini.

6. Disamping memiliki ilmu syar’i yang benar dan kejelasan manhaj juga harus berakhlak mulia serta memiliki cinta dan kasih sayang kepada manusia, berusaha untuk merealisaikan kemaslahatan dan memiliki antusiasme tinggi untuk memberikan solusi terhadap semua permasalahan masyarakat, zuhud terhadap dunia dan qanaah (merasa cukup) dengan yang ada.

7. Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah dan larangan syariat, menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah serta menjadi suri tauladan yang baik buat orang lain. Ini semua termasuk sifat para ulama ahlu sunnah wal jamaah. Tidak syak lagi, bahwa seorang mujaddid itu mesti termasuk ahlussunnah wal jama’ah, thaifah manshurah yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

لَنْ يَزَالَ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى النَّاسِ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ

Senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas manusia hingga datang kepada mereka hari kiamat dan mereka dalam keadaan menang. [HR al-Bukhari]

8. Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun

9. Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akherat.

10. Menjadi imama dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. [al-Furqaan/25:74]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. [as-Sajdah/32:24]

11. Membedakan antara perkara tsawaabit (yang tidak berubah) dengan al-mutaghayyiraat (yang bisa berubah).

Ushul aqidah, rukun-rukun islam dan nash-nash syariat semuanya adalah tsawaabit tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud tajdid disini adalah menghiduopkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam akal manusia serta mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru maka ia tunduk kepada nash-nash syariat untuk dihukumi dan tidak sebaliknya sebagaimana pengakuan para pengagum pembaharuan islam yang ada.

Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam al-Qur`ân atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum tertentu maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnyaperubahan waktu dan tempat serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan maka ia akan tetap berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan hingga datang nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya.[3] Demikianlah hal ini karena hukum-hukum syariat ada dua jenis:

a. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang gamblang. Jenis ini akan diberlakukan sepanjang zaman disemua tempat dan tidak mengalami perubahan.

b. Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang bersumber kepada qiyaas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash-syariatnya atau juga adat yang hukum syariat tidak dibangun diatasnya.

Inilah yang dijelaskan imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan beliau:
Norma-noerma yang berlaku ada dua:

a. Norma-norma agama (al-‘Awaa`id asy-syar’iyah) ditetapkan dalil syar’i atau di tolak dalam pengertian syariat memeritahkan hal tersebut secara wajib atau sunnah, melarangnya secara makruh atau haram atau mengizinkannya untuk diwujudkan dan ditinggalkan.

b. Hukum-hukum yang berlaku diantara manusia yang tidak ada dalil syr’i yang menolak dan menetapkannya.

Yang pertama ini diberlakukan selamanya…sedangkan kedua, norma-norma tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah.[4]

12. Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama.

Imam al-Munaawi rahimahullah menyatakan: ada satu hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits: (إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا) hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba’tsu (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada diawal abad… pengertian kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju kedepan memberikan kemanfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim diawal abad adalah diambil bukan diutus.

Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan tajdid dan mujaddid yang disampaikan para ulama, semoga memberikan wacana dan pencerahan dalam masalah ini.

(Diringkas oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc, dari kitab Tajdiid ad-Din , Mafhumuhu wa Dhawabithuhu wa Atsaaruhu, karya Prof.DR. Muhammad bin Abdilaziz bin Ahmad al’Ali, cetakan pertama tahun 1430 H, penerbit Kunuz Asybiliyah dari halaman 55-83)

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Footnote :
[1]. Aunul Ma’bud 4/180
[2]. Fatawa al-Lajnah ad-Daa`imah 2/169.
[3]. Al-Ihkaam fi ushuul al-Ahkaam 5/774
[4]. Al-Muwaafaqaat Fi Ushul asy-Syari’at 2/283-284