Minggu, 22 Mei 2016

Ghanimah Dan Tawanan Perang Badar

Ghanimah Dan Tawanan Perang Badar

BAHASAN : SIRAH NABI

GHANIMAN DAN TAWANAN PERANG BADAR


Perang Badar telah usai dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin. Sebuah kemenangan karunia Allah Azza wa Jalla yang diberikan sebagai realisasi janji-Nya kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin. Kemenangan dalam peperangan identik dengan ghanîmah (harta rampasan perang). Itu pula lah yang terjadi kala itu. Para Sahabat mendapatkan banyak ghanîmah yang diproleh dari tangan musuh yang melarikan diri, terbunuh atau yang tertawan.

Di sini muncul permasalahan baru, yaitu cara pembagian ghanîmah, karena para Sahabat terbagi menjadi tiga kelompok. Ada yang berkonsentrasi menyerang dan memukul mundur musuh, ada yang berkonsentrasi mengumpulkan harta rampasan dan ada pula yang berkonsentrasi menjaga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar terhindar dari serangan musuh. Setiap kelompok merasa berhak mendapatkan bagian dengan alasan masing-masing. Perselisihan ini terjadi karena pada saat itu belum ada syari’at tentang aturan pembagian ghanîmah. Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu menjelaskan, “Lalu Allah Azza wa Jalla mengambil alih permasalahan ini dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membagikannya kepada kaum Muslimin. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ ۖ قُلِ الْأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ ۖ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan perang kepunyaan Allah Azza wa Jalla dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”[l-Anfâl/8:1] [1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikannya sama rata kepada semua Sahabat yang ikut serta dalam perang Badar.[2]

Di antara hadits yang menunjukkan pembagian ghanîmah kepada para Sahabat yang turut serta dalam perang Badar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri dari Ali Radhiyallahu anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya unta yang diambilkan dari seperlima yang merupakan bagian Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya [3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memberikan ghanîmah kepada para peserta perang, tapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membagikannya kepada para Sahabat yang ditugaskan di Madinah atau yang tidak ikut berperang karena suatu alasan yang dibenarkan. Seperti Utsman Radhiyallahu anhu yang tidak berangkat karena mengurusi istrinya yang sedang sakit, atau `Abdullâh ibnu Ummi Maktûm, Abu Lubâbah yang mendapatkan tugas dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap di Madinah.

Begitulah akhir dari kisah pembagian ghanîmah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil seperlimanya, kemudian sisanya beliau bagikan kepada para Sahabat secara sama rata. Pembagian ghanîmah ini dilakukan di daerah Shafra’ dalam perjalanan pulang menuju Madinah. Para Sahabat Radhiyallahu anhum semuanya taat kepada keputusan yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga perselisihan dalam masalah pembagian ghanîmah ini hilang begitu saja. Dan begitulah sikap para Sahabat dalam setiap permasalahan yang diputuskan hukumnya oleh Allah k atau Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam [4].

Para Sahabat Dan Para Tawanan

Disebutkan pada edisi sebelumnya, bahwa dalam perang Badar ini, kaum Muslimin berhasil menewaskan kafir Quraisy sebanyak tujuh puluh orang dan menawan tujuh puluh orang pula.[5] Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, ketika di Shafra’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua tawanan yaitu an Nadhr bin al Hârits dan Uqbah bin Mu’ith [6] karena penyiksaan dan kebencian mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin sudah melampaui batas. Ingatlah, bagaimana salah satu di antara dua orang ini pernah meletakkan usus kambing yang kotor dan menjijikkan di kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sujud beribadah kepada Rabb-Nya di Mekah.[7]

Sedangkan mengenai nasib para tawanan lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat para Sahabatnya. Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengusulkan agar kaum Muslimin menerima tebusan, artinya para tawanan bisa dibebaskan setelah keluarga mereka membayar tebusan ; alasannya agar kaum Muslimin mendapatkan kekuatan baru dan berharap agar para tawanan ini mendapatkan hidayah dari Allah Azza wa Jalla. Berlawanan dengan usulan ini, Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu mengusulkan agar para tawanan itu dibunuh saja, karena mereka merupakan tokoh-tokoh orang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam cenderung kepada pendapat Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya yang sejalan dengan pendapat Umar Radhiyallahu anhu

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٦٧﴾ لَوْلَا كِتَابٌ مِنَ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿٦٨﴾ فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah Azza wa Jalla, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar, karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. [al-Anfâl/8:67-69][8]

Mengambil tebusan, awalnya dihalalkan dalam Islam, kemudian masalah ini diserahkan kepada imam negara untuk memilih antara membunuh, menerima tebusan atau memaafkan para tawanan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk anak-anak dan kaum wanita, karena mereka ini tidak boleh dibunuh selama tidak memiliki andil dalam peperangan.[9]

Tebusan masing-masing tawanan berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi tawanan. Yang memiliki banyak harta, maka tebusannya 4000 dirham,[10] namun ada yang kurang dari itu. Bahkan ada yang dibebaskan tanpa tebusan harta, ada pula yang dibebaskan dengan saling tukar tawanan seperti ‘Amr bin Abu Sufyân yang ditukar dengan Sa’d bin Nu’mân yang ditahan oleh Abu Sufyân saat sedang melaksanakan ibadah Umrah. Selain itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya : “Seandainya Muth’im bin ‘Adi masih hidup lalu dia berbicara kepadaku tentang masalah orang-orang busuk ini (maksudnya para tawanan-pent), maka pasti aku bebaskan mereka semua.”[11] Karena orang ini pernah melindungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekembali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mendakwahi penduduk Thaif saat tidak ada lagi yang bersedia melindungi beliau di Mekah. Juga karena peran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam merusakkan embargo yang dilakukan penduduk Mekah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan, bahwa para tawanan ini sangat mungkin dibebaskan dengan tanpa tebusan.

Zainab, putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kalungnya yang merupakan pemberian Khadîjah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta, untuk menebus suaminya Abul ‘Ash bin Rabî’ yang ditawan kaum Muslimin di Madinah. Para Sahabat yang menerima tebusan dari Zainab ini akhirnya mengembalikan semua tebusan itu kepada Zainab Radhiyallahu anhuma dan membebaskan Abul ‘Ash[12]. Dengan demikian, Abul ‘Ash bin Rabî’ termasuk tawanan yang dibebaskan tanpa tebusan.

Selama menunggu waktu kebebasan para tawanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para Sahabat agar memperlakukan para tawanan dengan baik. Abu ‘Aziz bin ‘Umair, saudara kandung Mush’ab bin ‘Umair Radhiyallahu anhu, menceritakan saat dia menjadi tawanan, dia mendapatkan perlakuan yang sangat baik sampai dia merasa sungkan. Setiap kali datang waktu makan siang dan makan malam, para Sahabat yang menawannya memberikan roti khusus untuk dia; sementara mereka hanya mengkonsumsi kurma kering. Sungguh ini merupakan wujud ketaatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan gambaran ketinggian akhlak Islami yang tiada tandingannya.

Pelajaran Dari Kisah

1. Kebolehan mengambil tebusan atau memberi maaf kepada para tawanan.

2. Ghanîmah (harta rampasan perang) halal bagi umat ini. Harta ini dibagikan kepada pasukan yang turut serta dalam peperangan tersebut.

3. Orang yang berhasil mengalahkan musuh dalam suatu pertempuran, maka dia berhak mendapatkan harta bawaan musuh tersebut dengan syarat musuh yang dikalahkan itu benar-benar orang yang boleh dibunuh, bukan orang yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya seperti kaum wanita, anak-anak atau orang yang sudah tua renta.

Referensi :
– As-Sîratun Nabawiyah Fî Dhauil Mashâdiril Ashliyah, Dr Mahdi Rizqullâh
– As-Sîratun Nabawiyah ash-Shahîhah, Dr Ahram Dhiya’ al-Umari
– Mukhtashar Sîratir Rasûl, Muhammad bin Abdul Wahhâb

[Http://cerkiis.blogspot.comDisalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016, artikel: almanhaj]

Footnote

[1]. Lihat Mukhtashar Sîratir Rasûl, Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahhab, hal. 119

[2]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahîhkan sanadnya oleh as-Sâ’âti dalam Fathur Rabbâni 14/73. beliau juga membawakan penilaian at-Tirmidzi, al-Hâkim dan adz-Dzahabi terhadap keshahîhan riwayat ini. Tentang pembagian ghanîmah sama rata disebutkan oleh Ibnu Ishâk dengan sanad hasan (Ibnu Hisyâm 2/344) dibawakan juga oleh al-Hâkim dalam al-Mustadrak 2/135-136, dan beliau mengatakan : Ini adalah hadits shahîh sesuai dengan syarat Imam Muslim, namun beliau n tidak membawakannya. (lihat As-Sîratun Nabawiyyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hal. 357)

[3]. HR Bukhâri, al-Fath 15/185, no. 4003

[4]. Lihat As-Sîratun Nabawiyah Ash-Shahîhah, DR Akram Dhiya’ al Umari, hal. 370

[5]. Lihat Shahîh Muslim, 3/1385, no. 1763

[6]. Al-Bidâyah wan Nihâyah 3/305

[7]. Lihat As-Sîratun Nabawiyah Ash-Shahîhah, DR Akram Dhiya’ al Umari, hal. 371

[8]. Riwayat Imam Muslim, no. 1763

[9]. Al-Mughni, Ibnu Qudâmah, 8/372-374

[10]. Al-Haitsami dalam Majma’ Zawâid 6/90. beliau rahimahullah mengatakan : Diriwayatkan oleh at-Thabrâni dan orang-orang yang membawakan riwayat ini tsiqah (bisa dipercaya).

[11]. HR. Bukhâri, al-Fath, no. 2024

[12]. Al-Musnad, al-Fathurrabbâni 14/100