Jumat, 11 Desember 2015
Mencegah Kemunkaran dengan Tangan
Pertanyaan :
Apakah mencegah kemunkaran dengan memakai tangan adalah hak setiap orang ? Atau merupakan hak bersyarat, yaitu bagi umaraa’ (pemerintah/penguasa) dan orang-orang yang diberi wewenang oleh mereka ?
Jawaban :
Kami ambilkan dari jawaban Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziiz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah :
”Mengubah kemunkaran adalah hak bagi setiap orang. Rasulullahshallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ. وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
”Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaknya ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu (juga), maka hendaklah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” [Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, dan Ahlus-Sunan][1].
Akan tetapi, mengubah kemunkaran dengan tangan diperuntukkan bagi seseorang yang mempunyai qudrah (kekuasaan) yang tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar atau kejelekan yang semakin banyak. Hendaknya seseorang mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangan dalam rumahnya, seperti pada anak-anaknya, istrinya, atau pembantunya.[2] Dan bagi seorang pegawai pada haiah (instansi) khusus yang diberi wewenang untuk perbaikan, ia boleh menggunakan tangannya.[3] Jika tidak demikian, maka tidak boleh mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangan bagi orang yang tidak memiliki wewenang. Sebab jika orang yang tidak memiliki wewenang menggunakan tangannya, akan menyebabkan kejelekan yang semakin banyak, musibah yang tidak sedikit, keburukan yang semakin besar antara ia dan orang lain, atau antara ia dan negara. Seharusnya ia mengubah kemunkaran dengan mengatakan (misalnya) : ”Takutlah pada Allah wahai Fulan, ini tidak boleh”. (Atau :) ”Ini haram ! Ini wajib ! ; dengan dalil-dalil syar’iymelalui lisannya. Adapun menggunakan tangan, maka pada tempat yang ia mampu, seperti di rumahnya, kepada orang yang berada di bawahnya, atau orang yang memang diberikan ijin dari pihak sulthan (penguasa) agar memerintahkan yang bijak, seperti instansi-instansi yang ditunjuk (diperintahkan) penguasa dan diberi wewenang untuk perbaikan. Maka, mereka mengubahnya sesuai dengan wewenang yang diberikan dengan ketentuan syar’iy yang disyari’atkan oleh Allah dengan tidak menambah-nambah.”
Wallaahu a’lam.
[Cerkiis.blogspot.com, Al-Ma’lum min Wajib Al-Allaqah Bainal-Haakim wal-Mahkum. Jum’iyyah Ihyaa’ At-Turaats, Oleh : abul-jauzaa’]
Footnote :
[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 49, Ahmad 3/10 & 20 & 49 & 50, Abu Daawud no. 1140 & 4340; At-Tirmidziy no. 2172; An-Nasaa’iy no. 5008-5009, dan Ibnu Maajah no. 1275 & 4013.
[2] Seperti seorang ayah terhadap istri dan anaknya. Allah ta’ala telah berfirman :
وَاللاّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنّ فَعِظُوهُنّ وَاهْجُرُوهُنّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنّ سَبِيلاً
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”[QS. An-Nisaa’ : 34].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَرُّوا الصِّبْيَانَ بِالصَّلاةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا فِيْ عَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي اْلمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak (kalian) untuk shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka (bila tidak mau shalat) pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkan di antara mereka (anak laki-laki dan perempuan) pada tempat tidurnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 494 dan Al-Haakim no. 708; shahih].
[3] Kalau di negeri kita (Indonesia) seperti aparat kepolisian dan yang semisalnya.